Minggu, 27 Desember 2015

AYAH

Tulisan ini diinspirasi dari fenomena yang terjadi saat ini, dimana hampir setiap elemen mengingatkan tentang peran ayah untuk anak.  Singkatnya setiap ayah mesti membangun kedekatan dengan anak melalui waktu yang diluangkan (quality time) oleh ayah , pelukan ayah untuk anak, usaha ayah untuk menjadi sahabat anak, dan berbagai bentuk pendekatan oleh ayah.  Bahwa anak yang dekat dengan ayahnya akan lebih percaya diri, lebih mandiri dan kelebihan lainnya yang tidak dimiliki jika anak hanya dekat dengan ibunya. 
Hal ini menjadi menarik jika dihubungkan dengan pengalaman pribadi saya sebagai anak yang memiliki ayah dan ibu.  Berdasarkan pengalaman pribadi, sejak saya mampu mengingat suatu peristiwa, saya adalah anak yang tidak pernah dipeluk oleh ayah saya bahkan saya tidak pernah merasakan digandeng tangan oleh ayah saya ketika berjalan kaki, ayah saya tidak pernah membacakan buku cerita apa pun kepada saya, ayah saya termasuk jarang mengantar saya les apalagi ke toko buku, atau juga sekedar memuji saya.  Tidak ada istilah liburan bareng ayah, yang ada adalah ketika ayah kami ke suatu tempat untuk pekerjaan tertentu, maka kami boleh ikut dan menikmati liburan di tempat tersebut sambil menunggu ayah kami yang sedang bekerja.  Hanya satu yang saya tahu dan membuat ayah kami berbeda dengan ayah yang lain, bahwa kami mengetahui semua rahasia ayah saya yang paling baik maupun yang paling buruk.  Saya yakin tidak ada rahasia ayah pada saya, atau masalah yang tidak diceritakan kepada saya, dan saya dipercaya penuh untuk itu.  Hal paling sering ayah pesan kepada kami adalah kedepankan logika, dan gunakan perasaan sedikit saja, itu pun untuk hal berhubungan dengan kebaikan saja. 
Kebiasaan kami adalah diskusi tentang hal-hal yang aneh diperbincangkan antara ayah dan anak perempuannya, misalnya diskusi tentang perang teluk (1991) sebagai kebijakan Amerika di Irak pada saat itu dimana saya masih berumur 12 tahun dan duduk dibangku SMP kelas 2.  Atau pun diskusi tentang kebijakan pemerintah Indonesia tentang pertanian, ekonomi perbankan dan lain sebagainya, yang membuat saya geleng-geleng kepala jika melihat hubungan suami saya dengan anak-anaknya sekarang.  Bahkan saya tidak pernah curhat tentang teman-teman saya apalagi teman cowok seperti anak perempuan lainnya yang bisa minta pertimbangan ayahnya.  Pertama kali saya bercerita tentang teman dekat saya ketika saya dilamar dan memang mesti izin ke ayah saya.  Saya mengingat betapa bijaknya ayah saya mengambil keputusan ketika itu, padahal ayah tidak mengenal laki-laki yang datang melamar saya.  Akhirnya saya pun menikah di usia yang cukup muda, 22 tahun dan kuliah kami pun belum selesai.
Terkadang saya berpikir, kedekatan apa yang perlu dibangun oleh seorang ayah dengan anak-anaknya, karena setiap ayah tentu punya cara sendiri-sendiri untuk berkomunikasi dengan anaknya.  Terkadang ada hal biasa saja bagi kita dan orang lain, namun tidak biasa bagi sebagian yang lain.  Untuk itu, saya mencoba mencatat, bahwa cinta ayah tidak terukur atau berdampak dari bagaimana mereka memperlakukan anaknya, namun rasa dan hati seorang ayah yang tulus kepada anak-anaknya akan membentuk seperti anak tersebut kelak.  Ayah punya tugas yang lain, ayah punya metoda yang lain, ayah punya waktu yang lain, namun ayah punya sejuta kasih untuk anak-anaknya.

Seperti itulah ayah membentuk kami, logika yang tinggi, perasaan yang terbatas, namun saya percaya bahwa hati ayah melebihi dalamnya samudra untuk mengungkap cinta pada anak-anaknya.